Mr. RyOuSt's Fan Box...

GOOGLING..

MARI #NANGKRING SAMA KITA .. EMEMBEAN .. :)

Selasa, 13 Juli 2010

Suka Komik?


Hai Mr. RyOuSt Lovers, selamat siang.. Wadhaw.. serasa panaskah siang ini.. Atau lagi hujan di situ.. Ada yang bete.. Ada yang bobo'-bobo'an.. Oh, iya.. adakah yang suka baca-baca komik..?

Ini dia, Mas Eka Kurniawan, yang dulu-dulunya suka baca komik pengin berbagi cerita.. simak baik-baik ya..

Hari-hari ini saya lagi membaca komik berjudul Delapan Dewa Mabuk. Ini merupakan komik seri Pendekar Mabuk dan Penggali Kubur karya Kelana. Sejujurnya saya tak tahu siapa Kelana. Namanya kalah mentereng dibandingkan komikus lainnya seperti Jan Mintaraja, Ganes Th atau Djair.

Saya menemukan komik itu di toko buku bekas Blok M Square, hanya karena ingin berkenang-kenang dengan bacaan masa kecil. Ya, saya masih ingat seri komik Penggali Kubur ini pernah saya baca.

Sejujurnya, ceritanya enggak keren-keren amat. Saya enggak akan menceritakannya. Tentu saja selera saya sudah berkembang banyak ketimbang zaman umur awal belasan tahun dulu. Meskipun begitu, masih banyak hal yang bisa saya nikmati, dan saya masih terkagum-kagum. Terutama, tentu saja aspek grafisnya.

Meskipun si Kelana ini enggak bisa dibilang legend dan namanya mungkin enggak begitu dikenal orang, atau kata teman saya, komikus pinggiran, gaya gambarnya tipikal komik Indonesia jadul. Jika ada yang tanya apakah ada kekhasan dari komik Indonesia? Saya akan bilang ada sambil menunjuk komik-komik tahun 70-80an ini.

Saya enggak ngerti kenapa tradisi menggambar mereka tidak terwariskan dan tidak diteruskan generasi komikus sekarang. Banyak analisa mengenai keruntuhan industri komik kita. Saya malas mengulangnya. Tapi terputusnya tradisi tentu saja pertanyaan besar. Apakah komikus sekarang malas belajar dari pendahulunya?

Baiklah, saya sendiri suka manga. Saya pembaca setia Kungfu Boy, Dragon Ball. Saya bahkan membaca manga untuk cewek macam Sailor Moon. Lebih suka lagi Lone Wolf and Cub. Saya juga penggemar komik Belgia-Prancis macam Asterix, Lucky Luke, Tintin. Hmm, tapi tak begitu tergila-gila komik Amerika, kecuali komik-komik Frank Miller. Tapi itu semua tak menghilangkan antusiasme saya melototin komik Indonesia.

Ini beberapa hal yang saya suka dari komik Indonesia lawas:

Pertama, saya suka dengan gaya realis-ekspresifnya. Jika kita melihat garis-garis manga, kita tahu garis-garisnya sangat terukur dan tegas (kecuali di antaranya Lone Wolf and Cub). Di komik kita, sangat mudah melihat garis-garis yang timbul-tenggelam. Mata manusia sering cuma garis hitam seperti di lukisan Jeihan. Gunung di kejauhan hanya berupa garis-garis samar.

Kedua, permainan warna blok hitam-putih. Karena keterbatasan teknologi (saya bayangkan saat itu mereka mencetaknya dengan plat kertas, bukan plat seng), komikus kita bermain dengan warna hitam dan putih saja. Tak ada abu-abu (halftone seperti di kebanyakan manga). Dalam hal ini, mereka hanya bermain dengan terang-gelap yang kadangkala dikombinasikan dengan arsir (untuk menciptakan efek halftone). Bahkan seringkali sosok-sosok atau latar hanya berupa siluet.

Ketiga, anatomi. Ini yang tak bisa didekati oleh komik luar mana pun. Anatomi dan garis wajah komik lawas kita, dengan mudah dikenali sebagai wajah dan anatomi kita sendiri. Sehebat apa pun manga atau komik Frank Miller, mereka mewakili anatomi dan garis wajah kebudayaan mereka sendiri. Saya tak keberatan kita mengadaptasi atau belajar dari komik luar. Selalu ada hal-hal baik yang perlu dicuri dari pencapaian kebudayaan lain. Tapi mengenai anatomi dan garis wajah, tak ada tempat belajar kecuali dari sekeliling dan dari karya-karya pendahulu. Dan inilah saya rasa yang tak terjamah kebanyakan komik kontemporer. Itulah mengapa saya merasa, sejarah komik kita enggak nyambung.

Mungkin masih banyak hal lain yang saya suka dari komik lawas kita, tapi sementara itu sudah cukup. Di luar itu, tentu saja ada beberapa kekurangan yang sering terasa menyebalkan dan mengganggu. Secara ringkas ini beberapa di antaranya: pertama, seringkali teks dan gambar menerangkan hal yang sama. Mubazir. Kedua, halaman yang dibagi dua panel mengurangi fleksibilitas. Ketiga, gabungan dua di atas menghasilkan efek, kadang-kadang di bagian tertentu gambar jadi seperti ilustrasi saja untuk menerangkan cerita (di dalam kotak narasi atau kotak dialog).

Meskipun begitu, saya tetap cinta komik-komik lawas ini. Saya menunggu hingga ada komikus baru yang bisa membuatnya menjadi lebih baik. Kamu bisa?